Universitas Negeri Surabaya (Unesa) tidak dapat dipisahkan dari
bagian utuh perjalanan panjang pendidikan nasional. Dengan telah
menghasilkan sekitar 80.000 lulusan, Unesa berani memosisikan diri
sebagai salah satu penyelenggara pendidikan tinggi yang mampu
merencanakan pengembangan untuk menyelenggarakan pendidikan yang
bermutu, mengevaluasi diri untuk menyiapkan lulusan yang berdaya saing
tinggi (nation competitiveness) dan berjiwa kewirausahaan
(entrepreneurship), serta mengatur segala kegiatannya dalam suatu
mekanisme organisiasi yang sehat (organizational health).
Unesa
harus mandiri (autonomy) sebagai sebuah Badan Hukum Pendidikan
Pemerintah (BHPP) seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor
20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).
Sejarah Unesa tidak dapat dipisahkan dari IKIP Surabaya yang
dimulai sekitar tahun 1950. Berawal dari kursus B-I dan B-II bidang Ilmu
Kimia dan Ilmu Pasti yang memanfaatkan sarana dan prasarana berupa
ruang kelas dan laboratorium dari pendidikan Belanda, Hoogere Burger
Schol (HBS). Kursus-kursus tersebut diselenggarakan di Surabaya untuk
memenuhi kebutuhan tenaga guru setingkat SLTP dan SLTA. Kursus-kursus
tersebut meliputi: (a) B-I dan B-II Kimia, (b) B-I dan BII Ilmu Pasti,
(c) B-I Bahasa Inggris, (d) B-I Bahasa Jerman, (e) B-I Teknik, (f) B-I
Pendidikan Jasmani, (g) B-I Ekonomi, (h) B-I Perniagaan, dan (i) B-I
Ilmu Pesawat. Pada tahun 1957, kursus-kursus B-I dikelompokkan menjadi
dua, yaitu (1) Kursus B-I Umum, yang meliputi Bahasa Inggris dan bahasa
Jerman, dan (2) Kursus B-I Kejuruan, yang meliputi Kimia, Ilmu Pasti,
Ekonomi, Perniagaan, Teknik, Pendidikan Jasmani, dan Ilmu Pesawat.
Kursus-kursus tersebut berlangsung sampai tahun 1960.
Untuk menghilangkan dualisme kursus B-I dan B-II dengan lulusan yang tidak
bergelar,
dan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) yang menghasilkan
lulusan bergelar, dengan Ketetapan MPRS No. 11/MPRS/1960 kedua kursus
tersebut diintegrasikan ke dalam Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
(FKIP) yang mencetak guru sekolah lanjutan. Selanjutnya lembaga
tersebut, berdasarkan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 6/1961
tertanggal 7 Februari 1961, diintegrasikan menjadi salah satu fakultas
dalam FKIP Universitas Airlangga Cabang Malang dan bernama FKIP
Universitas Airlangga Cabang Surabaya.
Pada tahun 1962 dengan berdirinya Akademi Pendidikan Guru (APG), yang
kemudian
menjadi Institut Pendidikan Guru (IPG), dualisme muncul kembali. Untuk
menghilangkan dualisme tersebut, berdasarkan Surat Keputusan Presiden
nomor 1/1963 tertanggal 3 Januari 1963 dilakukan integrasi IPG dengan
FKIP menjadi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP). Dengan
integrasi ini FKIP Universitas Airlangga di Malang, pada tanggal 20 Mei
1964, statusnya diubah menjadi IKIP Malang Pusat dan FKIP Universitas
Airlangga Cabang Surabaya berubah menjadi IKIP Malang Cabang Surabaya.
Keadaan semacam itu berlangsung sampai tanggal 19 Desember 1964.
Berdasarkan SK Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan
nomor 182/1964 tertanggal 19 Desember 1964, secara resmi IKIP Surabaya
berdiri sendiri dengan pimpinan suatu presidium Tanggal tersebut
ditetapkan sebagai tanggal kelahiran IKIP Surabaya yang setiap tahun
diperingati sebagai dies natalis IKIP Surabaya. Pada tahun 1964, IKIP
Surabaya mempunyai lima fakultas, yaitu (1) Fakultas Ilmu Pendidikan
(FIP), (2) Fakultas Keguruan Ilmu Sosial (FKIS), Fakultas Keguruan
Sastra Seni (FKSS), (4) Fakultas Keguruan Ilmu Eksakta (FKIE), dan (5)
Fakultas Keguruan Ilmu Teknik (FKIT). Pada 1 Maret 1977, Sekolah Tingi
Olahraga (STO) berintegrasi dengan IKIP Surabaya berdasarkan SK Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan R.I. nomor 042/O/1977 tertanggal 22 Februari
1977 dan menjadi Fakultas Keguruan Ilmu Keolahragaan (FKIK), yang
merupakan fakultas keenam yang dikelola oleh IKIP Surabaya. Berdasarkan
Peraturan Pemerintah R.I. nomor 27/1981, IKIP Surabaya mempunyai enam
fakultas, yaitu: (1) Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP), (2) Fakultas
Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS), (3) Fakultas Pendidikan Matematika
dan Ilmu pengetahuan Alam (FPMIPA), (4) Fakultas Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial (FPIPS), (5) Fakultas Pendidikan Teknologi dan
Kejuruan (FPTK), dan (6) Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan
(FPOK).
Dengan kepercayaan untuk menyelenggarakan perluasan mandat
(wider mandate), IKIP Surabaya berubah menjadi Universitas Negeri
Surabaya (Unesa) berdasarkan SK Presiden R.I. nomor 93/1999 tertanggal 4
Agustus 1999 dengan mengelola enam fakultas, yaitu (1) Fakultas Ilmu
Pendidikan (FIP), (2) Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS), (3) Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), (4) Fakultas Ilmu Sosial
(FIS), (5) Fakultas Teknik (FT), dan (6) Fakultas Ilmu Keolahragaan
(FIK).
Saat ini Unesa mengelola 63 program studi, kependidikan maupun
nonkependidikan, dengan jenjang diploma (D2 dan D3), strata satu (S1),
dan pascasarjana yang terdiri atas strata dua (S2) dan strata tiga (S3).
Karena perjalanan Unesa tidak dapat dipisahkan dari IKIP Surabaya, maka
hari kelahiran (dies natalis) Unesa tetap menggunakan dies natalis IKIP
Surabaya.
Belajar dari perjalanan kursus-kursus keguruan B-I dan B-II
hingga menjadi sebuah universitas, tidak menutup peluang bahwa di
kemudian hari Unesa akan berkembang menjadi sebuah universitas besar
yang berlokasi wilayah Surabaya Barat dengan program studi, jurusan,
maupun fakultas yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan masyarakat.
Pengembangan Unesa yang mengedepankan kompetensi lulusan dan kebutuhan
stakeholders akan selalu menjadi pekerjaan rumah yang tidak pernah
selesai bagi Unesa.
FUNGSI ALMAMATER BAGI JURUSAN
Mahasiswa
sangat identik dengan kata “almamater”. Ketika seorang siswa telah
memasuki jenjang perguruan tinggi, Ia akan disodorkan dengan sebuah jas
yang dinamakan jas almamater disebuah Universitas. Seiring berjalannya
waktu, banyak kegiatan yang akan diikuti olehnya dengan menggunakan jas
kebesaran tersebut. Yang menjadi pertanyaan besar baginya, apakah Ia
mengerti apa itu “almamater” dan makna apa yang terkandung di dalamnya?
Jika kita melihat secara arti katanya, “alma mater”, atau
kadang-kadang ditulis tersambung sebagai “almamater”, adalah istilah
dalam bahasa Latin yang secara harafiah berarti “ibu susuan”. Penggunaan
istilah ini populer di kalangan akademik/pendidikan untuk menyebut
perguruan tempat seseorang menyelesaikan suatu jenjang pendidikan.
Walaupun sering dipakai di kalangan pendidikan tinggi, istilah ini
sebetulnya pernah dipakai pada masa Romawi Kuno untuk menyebut dewi ibu.
Kristen Eropa pada Abad Pertengahan, menggunakan istilah alma mater
untuk merujuk Perawan Maria. Ketika kita mendengar kata ibu, Ia adalah
sesosok yang melahirkan, merawat, dan menyayangi anaknya hingga tumbuh
besar. Dapat kita telaah, almamater yang kita junjung adalah universitas
kita sendiri, dimana Ialah yang akan merawat dan membimbing mahasiswa
selayaknya seorang ibu, sehingga nantinya akan melahirkan
generasi-generasi penerus bangsa yang tangguh berjiwa kritis, ilmiah dan
akademis. Sehingga, penggunaan istilah ini populer di kalangan
akademik/pendidikan untuk menyebut perguruan tempat seseorang
menyelesaikan suatu jenjang pendidikan. Maka dari itu, sebagai mahasiswa
hendaknya benar-benar berbhakti dan berbangga hati menjadi bagian
almamater dengan mendukung dan menjalankan segala kebijakan perguruan
tinggi serta menjunjung tinggi nama baik almamater. Dari pengertian
tersebut, akan muncul berbagai konsepsi almamater yang disebut “wawasan
almamater”.
Wawasan tersebut tercermin dalam suatu anggapan-anggapan bahwa,
almamater merupakan jiwa mahasiswa dan seluruh civitas akademika yang
bersifat manunggal terhadap alamater, bersifat ilmiah, kritis dan
akademis dalam hal yang menyangkut kemahasiswaan, serta berbakti pada
universitas melalui almamater mengabdi pada rakyat. Di seluruh
Universitas, almamater merupakan sebuah kebanggaan yang munculnya dari
suatu kekuatan mahasiswa yang bersifat kritis, ilmiah, dan akademis. Hal
tersebut tidak dapat dipungkiri ketika mahasiswa turun ke jalan
melakukan kritisi terhadap kebijakan pemerintah atau suatu kalangan,
mereka dengan bangganya panas-panasan menggunakan jas almamater
kebanggaan mereka demi dapat membela kaum tertindas terutama rakyat
biasa. Selain itu, almamater merupakan suatu status formal bagi
mahasiswa ketika mereka mengikuti sebuah acara seminar yang dilakukan
oleh berbagai instansi.
Almamater juga memberikan status peran akademis kepada para
mahasiswa yang membela perguruan tingginya dalam hal pekan ilmiah,
perlombaan antar institusi, debat publik, dan kegiatan akademis lainnya.
Oleh karena itu, dari kebanggaan mahasiswa terhadap almamaternya akan
menumbuhkan jiwa kekompakkan, nasionalisme, tanggung jawab, serta
profesionalisme tinggi.